Rabu, 02 Oktober 2013

Peran BMT



STRATEGI OPTIMALISASI PERAN BMT SEBAGAI PENGGERAK SEKTOR USAHA MIKRO

A.Pendahuluan.
Fenomena penerapan prinsip Syariah dalam lembaga keuangan semakin berkembang pesat, tidak hanya di Lembaga Keuangan Bank ( LKB ) tetapi juga Lembaga Keuangan Bukan Bank ( LKBB ). Di sector lembaga keuangan bank dikenal dengan perbankan syari’ah, sedangkan di lembaga keuangan bukan bank dengan mengacu pada penjelasan pasal 49 huruf I Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 ahun 1989 tentang peradilan Agama, terdiri dari lembaga keuangan mikro Syari’ah, asuransi Syari’ah, reasuransi Syari’ah, reksadana Syari’ah, obligasi Syari’ah dan surat berharga berjangka menengah Syari’ah, sekuritas Syari’ah, pembiayaan Syari’ah,pegadaian Syari’ah, dana pensiun lembaga keuangan Syari’ah, dan bisnis Syari’ah.
Adapun mengenai Baitul Maal wat Tamwil (BMT) tercakup dalam istilah lembaga keuangan mikro Syari’ah. BMT merupakan Lembaga Jasa Keuangan Syari’ah yang memiliki focus pelayanan kepada usaha mikro dan kecil (UMK) berbadan hukum koperasi yang dalam usahanya menggunakan bayt al Maal (badan / divisi yang mengelola dana-dana bisnis)secara sekaligus.1  
BMT merupakan bentuk lembaga keuangan dan bisnis yang serupa dengan koperasi atau Kelompok Swadaya Masyarakat (LSM). Baitul wa Tamwil merupakan cikal bakal lahirnya Bank Syari’ah pada tahun 1992.2       Segmen masyarakat yang biasanya dilayani oleh BMT adalah masyarakat kecil yang kesulitan berhubungan dengan bank. Perkembangan BMT semakin marak setelah mendapat dukungan rai Yayasan Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (YINBUK) yang diprakarsai oleh Majlis Ulama Indonesia (MUI).
Keberadaan BMT ini di harapkan dapat memberikan kontribusi yang nyata dalam pengembangan sector ekonomi riil, terlebih bagi kegiatan usaha yang belum memenuhi segala persyaratan untuk mendapatkan pembiayaan dari lembaga perbankan Syari’ah.


B. Peranan BMT dalam Rangka Pemberdayaan Sektor Usaha Mikro.
Krisis moneter yang melanda bangsa Indonesia telah menyebabkan sector ril di kelompok akar rumput hampir lumpuh dengan banyaknya pengusaha kecil dan menengah yang ‘gulung tikar’ alias mengalami kebangkrutan.3 Kebangkrutan ini disebabkan karena ketidakmampuan mereka dalam menangkal krisis moneter yang mengguncang daya ketahanan pengusaha.
            Dalam realitasnya, operasional bank Syari’ah belum dapat secara optimal menjangkau sector usaha mikro di tingkat akar rumput (grass root).4 Hal demikian karena ternyata bank Syari’ah sebagai lembaga intermediasi keuangan dalam menjalankan fungsinya menyalurkan dana kepada masyarakat berupa memberikan pembiayaan masih mensyaratkan adanya jaminan yang itu tidak mudah bias dipenuhi oleh nasabah, khususnya nasabah kecil.  Di sisi yang lain fakta menunjukan bahwa operasional bank Syari’ah juga terbatas di kota-kota, sedangkan pelaku sector ekonomi riil juga sebagian berada di desa-desa. Dengan demikian layanan yang diberikan oleh bank Syari’ah belum dapat menjangkau sector ekonomi riil secara optimal.
 Kondisi tersebut menjadi latar belakang munculnya lembaga-lembaga keuangan mikro yang sudah menjangkau hingga ke pedesaan-pedesaan atau yang dikenal dengan sebutan BMT. BMT dalam operasional usahanya pada dasarnya hampir mirip dengan perbankan yaitu melakukan kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat yang membutuhkan dalam bentuk pembiayaan, serta memberikan jasa-jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Sesuai dengan namanya, BMT memiliki fungsi sebagai bayt al-mal dan bayt al-tamwil. Sebagai bayt al-mal adalah lembaga keuangan yang kegiatan pokoknya menerima dan menyalurkan dana umat islam yang berasal dari zakat, infaq, dan sedeqah. Penyalurannya dialokasikan kepada mereka yang berhak (Mustahiq) zakat, sesuai dengan aturan agama dan sesuai dengan managemen keuangan modern. Sebagai bayt al-tamwil adalah lembaga (Institusi) keuangan umat islam yang usaha pokoknya menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan/tabungan dan menyalurkan lewat pembiayaan usaha-usaha masyarakat yang produktif dan menguntungkan sesuai dengan system ekonomi syari’ah.
           
Secara umum, produk BMT dalam rangka melaksanakan fungsinya tersebut dapat diklasifikasikan menjadi empat hal, yaitu produk perhimpunandana (funding) produk penyaluran dana (lending), produk jasa, dan produk tabarru’ : zakat, infaq, shadaqah, wakaf, dan hibah).
Dengan demikian, sesuai dengan namanya, BMT menjalankan dua misi, yaitu misi social (tabarru’) dan misi bisnis. Kedua misi ini harus di usung oleh BMT secara Proporsional. Karena keseimbangan keduanya merupakan ciri khas BMT yang membedakannya dengan lembaga pembiayaan lainnya.
Kedua misi diatas, social dan bisnis, tercermin dalam produk-produk yang ditawarkan oleh BMT. Secara umum, produk-produk BMT tersebut dapat di deskripsikan sebagai berikut :
1.    Produk Penghimpunan Dana.
Pada umumnya berupa simpanan tabungan yang didasarkan pada akad wadhiiah dan akad mudhaarabah. Oleh karena itu dalam BMT dikenal dua jenis simpanan, yaitu simpanan wadhiiah dan simpanan mudhaarabah.
2.    Produk Penyaluran Dana.
Didasarkan pada akad-akad tradisional dalam Islam, yakni ; akad jual beli, akad sewa menyewa, akad bagi hasil, dan akad pinjam meminjam.
a.    Jual Beli
Intinya adalah akad antara penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi jual beli dimana objeknya adalah barang dab harga. Penerapan akad ini dalam transaksi BMT Nampak pada produk pembiayaan murabahah, salam, dan istishna.
Implementasi akad murabahah, salam dan istishna, khususnya dalam praktik BMT secara teknis dapat dibaca dalam fatwa DSN MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang murabahah, fatwa DSN MUI No. 05/DSN-MUI/IV/2000 tentang jual beli salam, dan fatwa DSN MUI No. 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang jual beli istishna.
b.    Bagi Hasil
Penerapan akad ini dalam Transaksi Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS) inilah yang lebih dikenal di masyarakat karena memang fungsinya sebagai pengganti bunga. Akad ini unik, karena dalam Pratik BMT bias diterapkan dalam dua sisi sekaligus yaitu sisi funding dan sisi lending.  
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar